Selasa, 05 Maret 2013

Guru Yang "Hidup"


GURU YANG ” HIDUP’

Oleh : Pujiono,S.Si,MM


Guru adalah faktor penting dalam pendidikan, sebab berhasil dan tidaknya proses pembelajaran sangat bergantung kepadanya. Maka tak aneh bila pemerintah memberikan perhatian yang istimewa terhadap guru dengan memberi tunjangan sertifikasi. Meskipun beberapa kalangan yang mengkritik dan mengatakan hasil sertifikasi belum menunjukan yang signifikan. Tentunya semua menjadi bahan muhasabah (mawas diri) guna ikhtiar menjadi yang terbaik bagi dunia pendidikan. Tak dipungkiri memang ada guru yang berubah gaya hidupnya setelah sertifikasi, dari beli mobil, rumah baru sampai ada yang nikah siri merupakan sekelumit kisah tak sedap dari efek berubahnya pendapatan. Namun juga tak sedikit yang implikasinya positif seperti tambah semangat mengajar, kreatif dan tambah syukur dengan menjalankan  ibadah.
Guru juga manusia yang tak lepas dari godaan nafsu alamiah, wajar jika masih ada keinginan hidup yang lebih baik. Namun tentunya ikhtiar sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik bagi generasi penerus bangsa hendaklah dilakukan pula. maka mempersiapkan diri menjadi pribadi guru yang berkompenten sangatlah penting dipersiapkan agar semua seimbang. Guna mengiringi profesi kemulianya sebagai pencerah bangsa. Ditangan Gurulah  washilah-perantara pembentuk karakter anak bangsa.
Mengingat setiap anak memiliki potensi, perilaku yang unik dan berbeda-beda. Ada yang keras, tegas, sampai minder dan  banyak ulah. Tentunya diperlukan guru yang berkompen dimana mampu memahami setiap ciri karakter anak diatas. Dari situ diharapkan mampu meningkatkan kualitas belajar anak Guru yang kompenten didalamnya ada ruh “hidup” dari setiap kata dan hati yang selalu seiya sekata. Bukan guru yang pandai berkata-kata namun isi hatinya berbeda. Karena Masih banyaknya hal dari persoalan rumah, pribadi, agenda tugas dan lain sebagainya. Sudah saatnya berubah wahai para guru, ikhlas tidak ikhlas, professional atau tidak professional waktu akan melaju dan akan termasuk orang yang rugi bila kesempatan didepan kelas tersebut disia-siakan begitu saja.
Menjadi guru yang “hidup” adalah jawabnya, guru yang selalu menghidupkan suasana saat pembelajaran, berfikir, bergerak mencurahkan tenaga dan pikiran untuk perkembangan anak didiknya. Bukan guru yang “mati” alias mandeg (jumud) tak ada kreasi, inovasi hanya menjalani rutinitas yang ada. Sememtara waktu melaju dan perkembangan tehnologi dan informasi berubah, apa jadinya anak didik jika guru tak kreatif. Bekal yang sedikit tentunya susah untuk memberikan yang banyak pada anak. Guru yang “hidup” bisa diindentifikasi dengan ciri yakni:
  1. mencitai profesi, dengan mencintai apa yang dilakukan menjadi berisi penuh arti, berbeda dengan ketika tidak dilandasi cinta, maka semua hanya kamuflase belaka. Guru yang mencintai profesinya akan selalu riang senyum –salam sapa kepada siapapun dalam kondisi bagaimanapun. Selain itu akan senatiasa melakukan atau memberikan yang terbaik buat peserta didiknya. perjumpaan dengan siswa hal yang dirindu, bukan momok yang membuat malas. Maka seorang guru akan memberikan terobosan-terobosan demi perkembangan anak didiknya. Meningkatkan kompentensi profesi dengan tanggap dan sigap segala perkembangan yang ada. Memasang mata dan telinga unntuk menyadap informasi sebanyak-banyaknya untuk diberikan anak didik sesuai kebutuhanya.
  2. mensyukuri profesi,  selain syukur dengan lesan, dapat ditandai dengan berusaha meningkatkan kualitas diri dengan membaca buku supaya banyak wawasan. Jadi guru sekaligus murid yang selalu belajar. Tak ada kata berhenti dalam membaca. Ingatlah tidak semua manusia diberi kesempatan yang sama, sebagai pelita dan penerang kegelapan adalah profesi yang mulia jadikan ini semua motivasi.
  3. meneladankan diri, keteladanan adalah kunci dalam pembelajaran, tanpa adanya sebuah keteladanan seribu teori tak akan berarti. Dan guru adalah figur yang menjadi sorotan utama dalam dunia pendidikan. Sehingga ada pepatah ” guru kencing berdiri, murid kencing berlari” sebuah gambaran bahwa seorang guru harus selalu bisa menjaga etika dan estetika di setiap tempat. Segala tingah laku guru aan menjadi sorotan. Maka mau tidak mau harus bisa meneladankan diri dimanapun jua.
  4. menginspirasi dan memotivasi, seorang guru selain sosok yang jadi panutan juga seorang inspirator dan motivator bagi peserta didik. Kisah laskar pelangi adalah contoh kongret seorang ibu Muslimah yang bisa menjadi pembakar semangat bagi anak-anak meskipun dengan segala keterbatasanya. Seorang inspirator harus peka dan jeli akan ide dan gagasan, sehingga hal ini tidak mungkin  bisa dilakukan seorang guru yang hanya duduk-diam-domblang-domblong dikelas, namun guru yang energik,sigap, dan penuh kreatif.
  5. membebaskan, guru yang mampu ”membebaskan” dari permasalahan diri dan muridnya. Maksudnya  banyak kejadian karena masalah keluarga yang melilit keluarga kemudian dibawa-bawa ke depan kelas saat mengajar dan anak yang jadi sasaran kesalahan. Ini namanya seorang guru yang tidak mampu membebaskan diri dari belenggu yang dia alami sendiri, bagaimana mampu membebasan belenggu orang lain dari rasa malas, kebodohan dan lain sebagainya. Membebasaan dalam artian luas dapat diartikkan membebaskan dari ketidak sadaran menjadi sadar akan tugas dan kewajiban, membebaskan dari keterpurukan menjadi bangkit dan maju, dari keterbelakangan menjadi pembaharu.

Dari hal tersebut diatas sangat mudah terwujud bila hati dan jiwa bersatu, dimana guru adalah panggilan hati, bukan sekedar pelarian atau prestise stastus belaka. Tak berlebihan bila mengutip pendapat Al-Ghazali bahwa guru sejati adalah : Ikhlas mengajar karena Allah semata, penuh kasih sayang kepada murid dengan memperlakukannya seperti anak sendiri, penyabar, cerdas-kreatif dan bersungguh-sungguh mencegah muridnya dari akhlak tercela. Semoga bisa menginspirasi kita semua.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar