Selasa, 29 September 2009

Dadang gulo pendidik

Dadang gulo pendidik

Lamun yen Siro Anggeguru kaki
Amiliho manungso kang nyata
Ingkang becik martabate
Sarta kang wruh ing hukum
Kang ngibadah lan kang ngirangi
Sokur oleh wong kang topo
Ingkang wis tumungkul
Tan mikir pawehing liyan
Iku pantes yen siro guronono kaki
Sartane kawruhono

BELAJAR DARI LEBAH

Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan.” (An-Nahl: 68-69)

Manusia adalah makhluk yang dikarunia akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah manusia diharapkan mampu belajar dari alam ( ayat-ayat Kauniyah) sekitar kita. Kesemuanya itu guna menambah rasa keimanan kepa Allah SWT. Tidak malah mengekploitasi alam yang hanya untuk memenuhi nafsunya. Dengan kita bisa belajar dati lingkungan kita akan bisa banyak mengampil pelajaran dan manfaat darinya. Sehingga kita diharapkan bermanfaaat juga bagi sesama. Hal ini sesuai sabda Rasulullah saw., “Manusia paling baik adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lain.”
Nah, pada kesempatan ini kita akan coba belajar dari sifat-sifat yang baik yaitu Lebah.Allah berfirmankan, “Dan Rabbmu mewahyukan (mengilhamkan) kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu).’ Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan.” (An-Nahl: 68-69)
Adapun sifat lebah yang bisa kita ambil pelajaran adalah :
1. Hinggap di tempat yang bersih dan makan hanya yang bersih.
Lebah hanya hinggap di tempat-tempat pilihan. berbeda dengan lalat. Serangga yang terakhir amat mudah ditemui di tempat sampah, kotoran, dan tempat-tempat yang berbau busuk. Tapi lebah, ia hanya akan mendatangi bunga-bunga atau buah-buahan atau tempat-tempat bersih lainnya yang mengandung bahan madu atau nektar.
Begitulah pula sifat seorang mukmin. Allah swt. berfirman:
Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu. (Al-Baqarah: 168)
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-A’raf: 157)
Karenanya, jika ia mendapatkan amanah dia akan menjaganya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak akan melakukan korupsi, pencurian, penyalahgunaan wewenang, manipulasi, penipuan, dan dusta. Sebab, segala kekayaan hasil perbuatan-perbuatan tadi adalah merupakan khabaits (kebusukan).
2. Mengeluarkan yang bersih.
Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan.” (An-Nahl: 68-69)
Siapa yang tidak kenal madu lebah. Semuanya tahu bahwa madu mempunyai khasiat untuk kesehatan manusia.
Segala yang keluar dari dirinya adalah kebaikan. Hatinya jauh dari prasangka buruk, iri, dengki; lidahnya tidak mengeluarkan kata-kata kecuali yang baik; perilakunya tidak menyengsarakan orang lain melainkan justru membahagiakan; hartanya bermanfaat bagi banyak manusia; kalau dia berkuasa atau memegang amanah tertentu, dimanfaatkannya untuk sebesar-besar kemanfaat manusia.
3. Tidak pernah merusak
Lebah tidak pernah merusak atau mematahkan ranting yang dia hinggapi. Begitulah seorang mukmin. Dia tidak pernah melakukan perusakan dalam hal apa pun: baik material maupun nonmaterial. Bahkan dia selalu melakukan perbaikan-perbaikan terhadap yang dilakukan orang lain dengan cara-cara yang tepat. Dia melakukan perbaikan akidah, akhlak, dan ibadah dengan cara berdakwah. Mengubah kezaliman apa pun bentuknya dengan cara berusaha menghentikan kezaliman itu. Jika kerusakan terjadi akibat korupsi, ia memberantasnya dengan menjauhi perilaku buruk itu dan mengajukan koruptor ke pengadilan.
4. Bekerja keras
Lebah adalah pekerja keras. Ketika muncul pertama kali dari biliknya (saat “menetas”), lebah pekerja membersihkan bilik sarangnya untuk telur baru dan setelah berumur tiga hari ia memberi makan larva, dengan membawakan serbuk sari madu. Dan begitulah, hari-harinya penuh semangat berkarya dan beramal. Bukankah Allah pun memerintahkan umat mukmin untuk bekerja keras? “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Alam Nasyrah: 7)
Kerja keras dan semangat pantang kendur itu lebih dituntut lagi dalam upaya menegakkan keadilan. Karena, meskipun memang banyak yang cinta keadilan, namun kebanyakan manusia –kecuali yang mendapat rahmat Allah– tidak suka jika dirinya “dirugikan” dalam upaya penegakkan keadilan.
5.Bekerja secara jama’i
Lebah selalu hidup dalam koloni besar, tidak pernah menyendiri. Mereka pun bekerja secara kolektif, dan masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri. Ketika mereka mendapatkan sumber sari madu, mereka akan memanggil teman-temannya untuk menghisapnya. Demikian pula ketika ada bahaya, seekor lebah akan mengeluarkan feromon (suatu zat kimia yang dikeluarkan oleh binatang tertentu untuk memberi isyarat tertentu) untuk mengudang teman-temannya agar membantu dirinya. Itulah seharusnya sikap orang-orang beriman. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 4)
6. Tidak pernah melukai kecuali kalau diganggu
Lebah tidak pernah memulai menyerang. Ia akan menyerang hanya manakala merasa terganggu atau terancam. Dan untuk mempertahankan “kehormatan” umat lebah itu, mereka rela mati dengan melepas sengatnya di tubuh pihak yang diserang. Sikap seorang mukmin: musuh tidak dicari. Tapi jika ada, tidak lari.
Itulah beberapa karakter lebah yang patut ditiru oleh orang-orang beriman. Bukanlah sia-sia Allah menyebut-nyebut dan mengabadikan binatang kecil itu dalam Al-Quran sebagai salah satu nama surah: An-Nahl. Allahu a’lam.

Selasa, 08 September 2009

MUDAHNYA BERISLAM

MUDAHNYA BERISLAM
Oleh: Muhsin Hariyanto

Sesungguhnya, tradisi Islam dan tata cara kehidupannya ditegakkan berdasarkan fitrah dan berorientasi kepada kemudahan, menjauhi keberatan dan kesulitan serta jauh dari sikap berlebihan. Di antara bukti dari kemudahan dan kesederhanaan itu adalah dimudahkannya segala urusan, disedikitkannya beban kewajiban, dan diringankannya dari ketidakteraturan kerja, waktu dan harta, yang tanpa adanya itu semua akan merugikan masyarakat.(Yusuf al-Qaradhawi, Sistem Masyarakat Islam dalam al-Qur’an dan Sunnah, Solo: Citra Islami Press, Cetakan Pertama, Januari 1997)Dalam wacana Fiqih (Islam) kita kenal istilah rukhshah (keringanan). Keringanan (rukhshah) itu adalah sebuah pilihan ketika ada situasi dan kondisi yang memberatkan, yang memberikan kemungkinan bagi setiap orang untuk memilih dengan subjektivitas masing-masing untuk memberlakukannya atau tidak.Jabir bin Abdullah (salah seorang sahabat Nabi saw) meriwayatkan, bahwa dia melihat Nabi saw sedang dalam suatu perjalanan, kemudian beliau menyaksikan orang ramai mengerumuni seorang lelaki yang dipayungi, kemudian beliau bersabda: “Ada apa ini?” Mereka pun menjawab: “Dia sedang berpuasa.” Beliau kemudian bersabda, “Tidak baik berpuasa dalam perjalanan.” Yakni di dalam perjalanan yang amat menyulitkan ini. (HR. al-Bukhari- Muslim)Khalifah Umar bin Abd al-Aziz di saat mendapat pertanyaan mengenai puasa dan berbuka di dalam perjalanan, yang pada saat itu diperdebatkan oleh para ahli fiqih, dia berkomentar: “Yang paling baik ialah yang paling mudah di antara keduanya.”Nabi saw pun menganjurkan umatnya untuk bersegera melakukan buka puasa dan mengakhirkan sahur, dengan tujuan untuk memberi kemudahan kepada orang yang melaksanakan puasa.Kita juga banyak menemukan fuqaha yang memutuskan hukum yang paling mudah untuk dilakukan oleh manusia terhadap sebagian hukum yang memiliki berbagai pandangan; khususnya yang berkaitan dengan masalah muamalah. Ada ungkapan yang sangat terkenal dari mereka: “al-masyaqqatu tajlibut taisîr (di mana pun dan kapan pun orang menemui kesulitan, di tempat dan saat itu pula orang mendapatkan kemudahan) “Memang, kadangkala seorang ulama memberikan fatwa dengan sesuatu yang lebih hati-hati dan terkesan memberatkan kepada sebagian orang yang lebih siap untuk menjalankan praktik ke-Islaman yang berkualitas. Mereka yang sudah siap untuk tidak sekadar menjalankan sejumlah kewajiban-formal (ke-Islaman) dan meninggalkan sesuatu yang secara tegas diharamkan, sebagai orang-orang wara’ yang sudah berkemampuan untuk menjauhkan diri mereka dari segala bentuk kemaksiatan. Jangankan yang haram, yang halal pun akan dijauhi bila berpotensi untuk mendatangkan kemaksiatan. Jangankan yang wajib (dilaksanakan), yang mubah (sebenarnya tidak diwajibkan dan disunnahkan) pun dilakukan untuk mendapatkan kebaikan. Tetapi, bagi orang-orang awam, yang biasanya difatwakan oleh para ulama, adalah pendapat yang paling mudah dan terkesan tidak membebani. Dan, kata para sosiolog Muslim, ternyata kelompok awam di kalangan umat Islam masih jauh lebih banyak daripada orang-orang khawwas (elit sosial Muslim yang sudah siap ber-Islam lebih matang), yang telah siap untuk ber-Islam lebih daripada sekadar mengejar batas minimal.Saat ini, ditengarai oleh banyak pengamat sosial, umat kita (baca: mayoritas umat Islam) masih lebih banyak memerlukan bimbingan dan arahan keberagamaan yang terkesan mudah dan menggembirakan daripada hal-hal yang terkesan sulit dan menyusahkan, lebih senang menerima berita ‘surga’ daripada berita ‘neraka’. Apalagi, bagi para muallaf (orang-orang yang baru saja berislam), atau untuk orang-orang yang baru saja bertobat dari sejumlah kemaksiatan. Kondisinya mirip dengan ketika Nabi saw memulai misi dakwahnya di Makkah (pada periode pra-hijrah), dan langkah awal beliau ketika masuk ke Medinah (periode awal hijrah).Ketika mengajarkan Islam kepada orang-orang yang baru memasuki ranah keber-Islaman, beliau tidak memperbanyak kewajiban atas mereka, serta tidak terkesan memberikan beban perintah dan larangan. Jika ada orang yang bertanya kepadanya mengenai Islam, maka beliau merasa cukup untuk memberikan definisi yang berkaitan dengan kewajiban primer, dan tidak mengemukakan yang sekunder. Bahkan beliau pernah mengecam orang yang memberatkan kepada manusia, tidak memperhatikan kondisi mereka yang berbeda-beda; sebagaimana ketika menegur sebagian sahabat yang menjadi imam shalat jamaah orang ramai. Mereka memanjangkan bacaan di dalam shalat, sehingga sebagian makmum mengadukan hal itu kepada beliau. Nabi saw berpesan kepada Mu’adz bin Jabal (salah seorang sahabat beliau) bahwa beliau sangat tidak suka bila Mu’adz memanjangkan bacaan itu, sambil berkata kepadanya (sebanyak tiga kali berturut-turut): “Apakah engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu’adz? Apakah engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu’adz? Apakah engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu’adz?” (HR. al-Bukhari).Abu Mas’ud al-Anshari (sahabat Nabi saw yang lain), meriwayatkan, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw: ‘Demi Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya aku selalu memperlambat untuk melakukan shalat Subuh dengan berjamaah karena Fulan (Mr. X), yang selalu memanjangkan bacaannya untuk kami. Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw memberikan nasihat dengan sangat marah kecuali pada hari itu. Kemudian Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya, ada di antara kamu yang membuat orang-orang lain susah. Siapa pun di antara kamu yang menjadi imam orang banyak, maka hendaklah dia meringankan bacaannya, karena di antara mereka ada orang yang lemah, tua, dan mempunyai kepentingan yang hendak dikerjakan.” (HR. al-Bukhari-Muslim)Jadi, Nabi saw mengecam terhadap hal-hal yang memberatkan apabila hal itu dianggap mengganggu kepentingan orang banyak, dan bukan sekadar untuk kepentingan pribadi (satu orang saja).Begitulah yang kita perhatikan dalam tindakan beliau ketika beliau mengetahui para sahabatnya yang mengambil langkah beribadah yang tidak selayaknya dilakukan bersama orang banyak, walaupun sebenarnya niat mereka “baik”. Tetapi, yang baik untuk dirinya bukan berarti baik untuk semua orang.Di sinilah seorang diajar untuk berempati dan bersikap toleran. Bergumul dengan realitas sosial dengan konsep “teologi ko-eksistensi”. Di sini ada aku, di sana ada kamu dan mereka. “Kita” bisa hidup bersama-sama tanpa saling mengusik dan terusik, dengan tetap memiliki komitmen untuk membiasakan yang benar, dan bukan sekadar membenarkan yang biasa.Ketika ada yang mudah, kenapa menerapkan yang sulit? Ketika yang sulit bisa dipermudah, kenapa kita enggan? Jadikan Islam sebagai rahmat bagi semuanya, tanpa mereduksi prinsip-prinsipnya.Itulah antara lain, pesan moral Islam yang sudah semestinya kita implementasikan dalam kehidupan kita. Islam untuk semuanya!l______________________________

SALAH SATU SISI IBADAH

SALAH SATU SISI IBADAH
Oleh : HA ROSYAD SHOLEH

Allah SwT berfirman dalam surat Adz-Dzaariyaat ayat 56 : “Wa maa khalaqtul jinna wal insa illaa liya’buduuni”. Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku”. Menurut ayat ini, tujuan penciptaan manusia adalah agar dalam hidupnya, manusia selalu beribadah kepada Allah. Artinya, dalam perjalanan hidupnya, dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun, manusia harus selalu beribadah kepada Allah. Tidak ada ruang kosong dan waktu luang bagi manusia, melainkan harus diisi dengan ibadah.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah ibadah itu dan bagaimana ibadah itu harus dilakukan?Berdasarkan Keputusan Tarjih, ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan menaati segala perintah-perintahnya, menjauhi segala larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus. Yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah. Yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan oleh Allah akan perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu.Dengan pengertian semacam itu, maka sepanjang perjalanan hidupnya, manusia dapat melakukan ibadah. Di samping shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya, yang merupakan ibadah khusus, manusia juga dapat melakukan ibadah umum, yaitu semua kegiatan, baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, masyarakat maupun untuk kepentingan bangsa dan negara, yang dilakukan dengan niat karena Allah dan dikerjakan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syara’. “Menunaikan hak diri pribadi, sesuai dengan perintah Allah, seperti makan, minum, menuntut ilmu adalah ibadah. Menunaikan kewajiban kemasyarakatan sesuai dengan perintah Allah adalah ibadah. Mengolah alam guna dimanfaatkan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah ibadah. Memberikan makan binatang yang kelaparan adalah ibadah. Bekerja mencari nafkah untuk mencukupkan kebutuhan diri pribadi dan orang-orang yang menjadi tanggungannya adalah ibadah. Dalam sebuah Hadits riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Anas dan Ibnu Umar, pernah para sahabat Nabi melihat seorang pemuda yang nampak sehat dan kuat, hidup bekerja mencari nafkah. Para sahabat menyayangkan mengapa ia tidak mempergunakan kekuatannya itu untuk berjihad di jalan Allah. Mereka berkata kepada Nabi: ‘Ya Rasul Allah, alangkah beruntungnya bila ia ada di jalan Allah’. Nabi menjawab : ‘Jika ia keluar mencari nafkah bagi kedua orangtuanya yang telah lanjut usia, ia ada di jalan Allah, tetapi jika ia keluar untuk mencari sesuatu guna menampak-nampakkan kebaikan kepada orang lain dan guna berbangga-bangga diri, maka ia ada di jalan setan’. (Ahmad Azhar: Falsafah Ibadah dalam Islam)Berdasarkan uraian di atas, fungsi ibadah, baik ibadah umum maupun ibadah khusus adalah untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Di samping itu,ada satu fungsi lagi yang sangat penting, yaitu ibadah juga berfungsi sebagai wahana riyadhah untuk mendidikkan nilai moral atau nilai akhlak tertentu. Setiap ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji, di dalamnya terkandung apa yang disebut pesan moral. Harga sebuah ibadah ditentukan oleh sampai sejauh mana kita dapat menangkap dan menjalankan apa yang menjadi pesan moralnya. Apabila ibadah itu tidak meningkatkan akhlak kita, maka ibadah itu tidak bermakna. Dengan perkataan lain, karena tidak melaksanakan apa yang menjadi pesan moralnya, maka ibadah itu menjadi sia-sia.Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, pada suatu ketika Rasul Allah saw bertanya kepada para sahabat: “A tadruna mal muflisu?. Qalu : ‘Al Muflisu fina man la dirhama wa la mata’a’. Qala : ‘ innal muflisa min ummati ya’ti yaumal qiyamati bi shalatin wa shiyamin wa zakatin, wa ya’ti qad syatama haza, wa qazafa haza, wa akala mala haza wa safaka dama haza wa dharaba haza. Fa yu’tha haza min hasanatihi wa haza min hasnatihi, fa in funiyat hasanatuhu qabla an yuqdha ma ‘alaihi akhaza min khatayahum fathurihat ‘alaihi tsumma thuriha fin nar’” (rawahu Muslim). Artinya : “Tahukah kalian, siapakah muflis (orang yang bangkrut) itu?”. Para sahabat menjawab: “Di kalangan kami, muflis itu adalah seorang yang tidak mempunyai dirham dan harta benda”. Nabi bersabda : “Muflis di antara umatku itu ialah seseorang yang kelak di hari qiyamat datang lengkap dengan membawa pahala ibadah shalatnya, ibadah puasanya dan ibadah zakatnya. Di samping itu dia juga membawa dosa berupa makian pada orang ini, menuduh yang ini, menumpahkan darah yang ini serta menyiksa yang ini. Lalu diberikanlah pada yang ini sebagian pahala kebaikannya, juga pada yang lain. Sewaktu kebaikannya sudah habis padahal dosa belum terselesaikan, maka diambillah dosa-dosa mereka itu semua dan ditimpakan kepada dirinya. Kemudian dia dihempaskan ke dalam neraka.Menurut hadits ini, orang yang bangkrut itu adalah seseorang yang pada hari kiyamat nanti datang menghadap Allah dengan membawa pahala shalatnya, pahala puasanya, pahala zakatnya dan sebagainya. Ketika sedang dipeiksa, datang seseorang mengadu : ‘Ya Allah, orang ini sewaktu hidup di dunia dulu telah mencaci maki saya’. Maka, diambillah sebagian pahalanya dan diberikan kepada orang yang mengadu tadi. Kemudian datang lagi orang mengadu: ‘Ya Allah orang ini sewaktu di dunia dulu telah menuduh saya melakukan perbuatan jahat, padahal saya tidak melakukannya’. Maka diambillah sebagian pahalanya dan diberikan kepada orang yang mengadu tadi. Demikianlah seterusnya datang para pengadu yang lain, sampai habis pahalanya. Sementara itu masih juga datang para pengadu yang lain. Maka diambillah sebagian dosa dari para pengadu dan ditimpakan kepada orang yang berbuat aniaya tadi. Setelah itu orang tersebut dilemparkan ke dalam neraka.Mengapa Islam sangat mementingkan dan menekankan prinsip moral atau prinsip akhlak itu? Ini disebabkan, karena keutusan Rasul Allah Muhammad saw adalah untuk membangun dan menyempurnakan akhlak. “Innama bu’itstu li utammima makarilmal akhlaq”. Oleh karena itu seluruh ajaran Islam diarahkan untuk menyempurnakan akhlak. Ibadah shalat misalnya, salah satu fungsinya adalah untuk membentuk akhlak mulia. Allah SwT berfirman dalam surah Al-’Ankabuut ayat 25 : “Dan tegakkanlah shalat, karena shalat mencegah perbuatan keji dan munkar’. Demikian pula ibadah puasa, tujuannya adalah pembentukan manusia takwa, yaitu manusia yang berakhlak mulia. Allah SwT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . Kalalu ada orang yang menjalankan ibadah khusus, tetapi akhlaknya tetap buruk, Islam tidak menghitung ibadah itu. Ketika kepada Rasul Allah dikatakan: “Ya Rasul Allah, ada yang berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari untuk melakukan qiyamullail, tetapi dia menyakiti hati tetangganya dengan lidahnya”. Rasul Allah menjawab,: “Dia di neraka”.l

Doa Shalat Duha

Do’a Sholat Duha


Dalam Tulisan Latin
Allohumma innad dhuha’a dhuha uka,wal baha’a baha uka, wal jamala jamaluka,wal quwwata quwwatuka, wal qudhrota qudhrotuka,wal ismata ismatukaAllohumma in kana rizqi fii sama’i fa’anzilhu,wain’kana fil ardhi fa akhrijhu,wa’inkana mu’ syaron fa yasyirhu,wa’in kana haroman fathohirhu,wa’inkana ba’idan faqorib’hu,bihaqi dhuha’ika, wabaha’ika, wa’jamalika, wa quwwatika, wa qudhrotika,aatini ma’ataiyta ibadakas sholihin

Artinya
Ya Allah, bahwasannya waktu dhuha itu adalah waktuMU,dan keagungan itu adalah keagunganMU,dan keindahan itu adalah keindahanMU,dan kekuatan itu adalah kekuatanMU,dan perlindungan itu adalah perlindunganMU,Ya Allah, jika rizkiku masih ! di atas langit, maka turunkanlah,jika masih di dalam bumi, maka keluarkanlah,jika masih sukar, maka mudahkanlah,jika (ternyata) haram, maka sucikanlah,jika masih jauh, maka dekatkanlah,Berkat waktu dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan dan kekuasaanMU,limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepadahamba-hambaMU yang sholeh.Amiin Ya Robbal Alamiin.

Senin, 07 September 2009

Shalat Iftitah

SALAT IFTITAH

Berdasarkan beberapa definisi yang saya temui, Shalat iftitah adalah shalat 2 rakaat yang boleh dikerjakan sebelum melaksanakan qiyamul-lail. Bagi seseorang yang akan mengerjakan Qiyamul-lail boleh memulai dengan 2 rakaat shalat iftitah, tetapi boleh juga tidak. Jadi shalat iftitah itu hanya berhubungan dengan qiyamul-lail dan tidak ada hubungan dengan shalat-shalat sunnah yang lain.
Rasulullah bersabda:“Apabila salah seorang dari kamu akan shalat pada waktu malam, hendaklah memulai shalatnya dengan 2 rakaat yang ringan” (HR. Ahmad dan Muslim).
Lantas apa itu sholat Iftitah? Iftitah artinya pembukaan. Mungkin sebutan solat iftitah tadi berdasar pada hadist Aisyah riwayat Muslim:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ لِيُصَلِّىَ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ.
Rasulullah ketika hendak sholat malam, beliau "membuka" sholatnya dengan dua rakaat pendek
Dari Aisyah berkata:“Rasulullah apabila shalat pada wktu malam (qiyamul-lail) memulai shalatnya dengan 2 rakaat yang ringan” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud).
Adapun tata cara shalat iftitah adalah sebagai berikut, dimulai dengan takbir kemudian membaca doa sebagai berikut “subhaanallahi dzilmalakuuti wal jabaruuti wal kibriyaa’i wal ‘adhomah” (maha suci Allah, dzat yang memiliki kemuliaan, kekuasaan, kebesaran dan keagungan)(HR. Thabrani) dilanjutkan dengan membaca surat al Fatihan tanpa membaca surat-surat Al Qur’an yang lain dan dikerjakan seperti shalat-shalat wajib. Kemudian setelah salam baru lah dilanjutkan dengan shalat qiyamul lail yang pada bulan Ramadhan dikenal juga sebagai shalat Tarawih.
Demikian rangkuman dari beberapa sumber yang saya temui, mohon koreksinya apabila rangkuman diatas kurang tetap dan tidak sempurna. Semoga bermanfaat dan kita dapat meraih keutamaan-keutamaan Ramadhan.

Tuntunan dan tata cara sholat iftitah dan Qiyamu Ramadhan (jumlah rakaat Sholat Tarawih,do’a Iftitah, witir, jahr, sirr)

1. Diawali dengan sholat Iftitah (dua rakaat) yang ringan (khafiifataini) dan diakhiri dengan sholat ganjil (witir).
2. Secara berjamaah dengan bacaan JAHR (Keras) atau sirr apabila dikerjakan sendirian.
3. Model-model pelaksanaan Sholat Tarawiha.
Diawali sholat iftitah:- doa iftitah:”subhaanallaahi dzilmalakuuti wal jabaruuti wal kibriyaa’i wal ’adhomah” (maha suci Allah, dzat yang memiliki kemuliaan, kekuasaan, kebesaran, dan keagungan) (HR. Thabrani)-
Membaca surat al Fatihah tanpa membaca surat-surat Al Qur’an yang lain- Dikerjakan seperti sholat-sholat wajib
Mengerjakan sholattarawih dan witir
Membaca kalimat tasbih tiga kali sesudah sholat witir;“subhaanal malikil qudduus” (Maha Suci Raja yang Maha suci)d. Membaca:”Rabbil malaaikati warruuh”

Minggu, 06 September 2009

Landasan Syar'i Hisab

LANDASAN SYAR`I HISAB
  1. QS Ar-Rahmân (55): 5:
    “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.”
    QS Yûnus (10): 5:
    “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).”QS Yasin 39-40
  2. Hadis Rasulullah saw.:
    “Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah (HR al-Bukhari, dan lafal di atas adalah lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim).
  3. Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
PENJELASAN LANDASAN SYAR`I HISAB
  1. Cara memahaminya (wajh al-istidlâl-nya) adalah bahwa pada surat ar-Rahman/55: 5 dan surat Yûnus/10: 5, Allah swt. menegaskan bahwa benda-benda langit berupa matahari dan bulan beredar dalam orbitnya dengan hukum-hukum yang pasti sesuai dengan ketentuan-Nya. Oleh karena itu, peredaran benda-benda langit tersebut dapat dihitung (dihisab) secara tepat.
  2. Penegasan kedua ayat itu tidak sekedar pernyataan informatif, namun justru pernyataan imperatif yang memerintahkan untuk memperhatikan dan mempela-jari gerak dan peredaran benda-benda itu yang akan membawa banyak kegunaan, seperti meresapi keagungan Penciptanya dan penyusunan suatu sistem pengorganisasian waktu.
  3. Pada zamannya, Nabi saw. dan para sahabatnya tidak menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan baru qamariyyah, melainkan menggunakan rukyat (hadis pertama). Praktik dan perintah Nabi saw. agar melakukan rukyat itu adalah praktik dan perintah yang disertai `illat (kausa hukum), yang dapat dipahami pada hadis kedua, yaitu keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi (tidak bisa baca tulis ).
  4. Keadaan ummi adalah belum menguasai baca tulis dan ilmu hisab (astronomi), sehingga tidak mungkin melakukan penentuan awal bulan dengan hisab seperti isyarat yang dikehendaki QS ar-Rahmân/55: 5 dan Yûnus/10: 5 di atas.
  5. Cara yang paling mungkin dilakukan di masa Nabi saw. adalah dengan melihat hilal (bulan baru) secara langsung: bila terlihat secara fisik berarti bulan baru dimulai pada malam itu dan keesokan harinya, dan bila hilal tidak terlihat, bulan berjalan digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa.
  6. Sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi:
    الحكم يدورمع علّته و سببه وجودا وعدما“Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya `illat dan sebabnya,”
  7. maka ketika `illat sudah tidak ada lagi, hukumnya pun tidak berlaku lagi.
  8. Artinya, ketika keadaan ummi itu sudah hapus, karena tulis baca sudah berkembang dan pengetahuan hisab (astronomi) sudah maju, maka rukyat tidak diperlukan lagi dan tidak berlaku lagi. Dalam hal ini, kita kembali kepada semangat umum dari al-Qur’an, yaitu melakukan perhitungan (hisab) untuk menentukan awal bulan qamariyyah.
  9. Sudah jelas bahwa misi al-Qur’an adalah untuk mencerdaskan umat manusia, dan misi ini adalah sebagian tugas yang diemban oleh Nabi Muhammad saw. dalam dakwahnya (QS al-Jumu’ah/62: 2).