MUDAHNYA BERISLAM
Oleh: Muhsin Hariyanto
Sesungguhnya, tradisi Islam dan tata cara kehidupannya ditegakkan berdasarkan fitrah dan berorientasi kepada kemudahan, menjauhi keberatan dan kesulitan serta jauh dari sikap berlebihan. Di antara bukti dari kemudahan dan kesederhanaan itu adalah dimudahkannya segala urusan, disedikitkannya beban kewajiban, dan diringankannya dari ketidakteraturan kerja, waktu dan harta, yang tanpa adanya itu semua akan merugikan masyarakat.(Yusuf al-Qaradhawi, Sistem Masyarakat Islam dalam al-Qur’an dan Sunnah, Solo: Citra Islami Press, Cetakan Pertama, Januari 1997)Dalam wacana Fiqih (Islam) kita kenal istilah rukhshah (keringanan). Keringanan (rukhshah) itu adalah sebuah pilihan ketika ada situasi dan kondisi yang memberatkan, yang memberikan kemungkinan bagi setiap orang untuk memilih dengan subjektivitas masing-masing untuk memberlakukannya atau tidak.Jabir bin Abdullah (salah seorang sahabat Nabi saw) meriwayatkan, bahwa dia melihat Nabi saw sedang dalam suatu perjalanan, kemudian beliau menyaksikan orang ramai mengerumuni seorang lelaki yang dipayungi, kemudian beliau bersabda: “Ada apa ini?” Mereka pun menjawab: “Dia sedang berpuasa.” Beliau kemudian bersabda, “Tidak baik berpuasa dalam perjalanan.” Yakni di dalam perjalanan yang amat menyulitkan ini. (HR. al-Bukhari- Muslim)Khalifah Umar bin Abd al-Aziz di saat mendapat pertanyaan mengenai puasa dan berbuka di dalam perjalanan, yang pada saat itu diperdebatkan oleh para ahli fiqih, dia berkomentar: “Yang paling baik ialah yang paling mudah di antara keduanya.”Nabi saw pun menganjurkan umatnya untuk bersegera melakukan buka puasa dan mengakhirkan sahur, dengan tujuan untuk memberi kemudahan kepada orang yang melaksanakan puasa.Kita juga banyak menemukan fuqaha yang memutuskan hukum yang paling mudah untuk dilakukan oleh manusia terhadap sebagian hukum yang memiliki berbagai pandangan; khususnya yang berkaitan dengan masalah muamalah. Ada ungkapan yang sangat terkenal dari mereka: “al-masyaqqatu tajlibut taisîr (di mana pun dan kapan pun orang menemui kesulitan, di tempat dan saat itu pula orang mendapatkan kemudahan) “Memang, kadangkala seorang ulama memberikan fatwa dengan sesuatu yang lebih hati-hati dan terkesan memberatkan kepada sebagian orang yang lebih siap untuk menjalankan praktik ke-Islaman yang berkualitas. Mereka yang sudah siap untuk tidak sekadar menjalankan sejumlah kewajiban-formal (ke-Islaman) dan meninggalkan sesuatu yang secara tegas diharamkan, sebagai orang-orang wara’ yang sudah berkemampuan untuk menjauhkan diri mereka dari segala bentuk kemaksiatan. Jangankan yang haram, yang halal pun akan dijauhi bila berpotensi untuk mendatangkan kemaksiatan. Jangankan yang wajib (dilaksanakan), yang mubah (sebenarnya tidak diwajibkan dan disunnahkan) pun dilakukan untuk mendapatkan kebaikan. Tetapi, bagi orang-orang awam, yang biasanya difatwakan oleh para ulama, adalah pendapat yang paling mudah dan terkesan tidak membebani. Dan, kata para sosiolog Muslim, ternyata kelompok awam di kalangan umat Islam masih jauh lebih banyak daripada orang-orang khawwas (elit sosial Muslim yang sudah siap ber-Islam lebih matang), yang telah siap untuk ber-Islam lebih daripada sekadar mengejar batas minimal.Saat ini, ditengarai oleh banyak pengamat sosial, umat kita (baca: mayoritas umat Islam) masih lebih banyak memerlukan bimbingan dan arahan keberagamaan yang terkesan mudah dan menggembirakan daripada hal-hal yang terkesan sulit dan menyusahkan, lebih senang menerima berita ‘surga’ daripada berita ‘neraka’. Apalagi, bagi para muallaf (orang-orang yang baru saja berislam), atau untuk orang-orang yang baru saja bertobat dari sejumlah kemaksiatan. Kondisinya mirip dengan ketika Nabi saw memulai misi dakwahnya di Makkah (pada periode pra-hijrah), dan langkah awal beliau ketika masuk ke Medinah (periode awal hijrah).Ketika mengajarkan Islam kepada orang-orang yang baru memasuki ranah keber-Islaman, beliau tidak memperbanyak kewajiban atas mereka, serta tidak terkesan memberikan beban perintah dan larangan. Jika ada orang yang bertanya kepadanya mengenai Islam, maka beliau merasa cukup untuk memberikan definisi yang berkaitan dengan kewajiban primer, dan tidak mengemukakan yang sekunder. Bahkan beliau pernah mengecam orang yang memberatkan kepada manusia, tidak memperhatikan kondisi mereka yang berbeda-beda; sebagaimana ketika menegur sebagian sahabat yang menjadi imam shalat jamaah orang ramai. Mereka memanjangkan bacaan di dalam shalat, sehingga sebagian makmum mengadukan hal itu kepada beliau. Nabi saw berpesan kepada Mu’adz bin Jabal (salah seorang sahabat beliau) bahwa beliau sangat tidak suka bila Mu’adz memanjangkan bacaan itu, sambil berkata kepadanya (sebanyak tiga kali berturut-turut): “Apakah engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu’adz? Apakah engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu’adz? Apakah engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu’adz?” (HR. al-Bukhari).Abu Mas’ud al-Anshari (sahabat Nabi saw yang lain), meriwayatkan, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw: ‘Demi Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya aku selalu memperlambat untuk melakukan shalat Subuh dengan berjamaah karena Fulan (Mr. X), yang selalu memanjangkan bacaannya untuk kami. Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw memberikan nasihat dengan sangat marah kecuali pada hari itu. Kemudian Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya, ada di antara kamu yang membuat orang-orang lain susah. Siapa pun di antara kamu yang menjadi imam orang banyak, maka hendaklah dia meringankan bacaannya, karena di antara mereka ada orang yang lemah, tua, dan mempunyai kepentingan yang hendak dikerjakan.” (HR. al-Bukhari-Muslim)Jadi, Nabi saw mengecam terhadap hal-hal yang memberatkan apabila hal itu dianggap mengganggu kepentingan orang banyak, dan bukan sekadar untuk kepentingan pribadi (satu orang saja).Begitulah yang kita perhatikan dalam tindakan beliau ketika beliau mengetahui para sahabatnya yang mengambil langkah beribadah yang tidak selayaknya dilakukan bersama orang banyak, walaupun sebenarnya niat mereka “baik”. Tetapi, yang baik untuk dirinya bukan berarti baik untuk semua orang.Di sinilah seorang diajar untuk berempati dan bersikap toleran. Bergumul dengan realitas sosial dengan konsep “teologi ko-eksistensi”. Di sini ada aku, di sana ada kamu dan mereka. “Kita” bisa hidup bersama-sama tanpa saling mengusik dan terusik, dengan tetap memiliki komitmen untuk membiasakan yang benar, dan bukan sekadar membenarkan yang biasa.Ketika ada yang mudah, kenapa menerapkan yang sulit? Ketika yang sulit bisa dipermudah, kenapa kita enggan? Jadikan Islam sebagai rahmat bagi semuanya, tanpa mereduksi prinsip-prinsipnya.Itulah antara lain, pesan moral Islam yang sudah semestinya kita implementasikan dalam kehidupan kita. Islam untuk semuanya!l______________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar